Valentine's Day Pumping Heart

::::: MENCARI MAKNA KEHIDUPAN ::::

*Cerita renungan hidup



Bagai katak di ujung tanduk,barangkali begitulah melukiskan keadaan kondisiku saat ini,


Panggil saja paija,aku seorang anak perempuan yang cacat tampa kaki sebelah,tp semua itu tak pernah menyurutkan aku mencari biaya untuk keluargaku,bapak ku sudah meninggal waktu adik bungsuku masih bayi,kini mak dan ke 6 keluargaku tinggal di sebuah gubuk kecil di pingiran kota,pada waktu pagi semua terlelap tidur aku bergegas mencari rejeki di pinggiran jalan raya untuk mengamen,mungkin karena kondisiku yang cacat sering kali ejekan demi ejekan aku terima dari temanku,sedih hati ini tidak semua orang berharap menjadi orang yang cacat.

Umur 14 tahun,ibuku sakit parah dan akhirnya meninggal,menyesal hati ini,andaikan aku punya uang yang banyak pasti nyawa ibuku terselamatkan,tp penghasilanku tidak seberapa hanya cukup untuk makan adik2 ku,kini beban semakin di pundak ku,rasa ingin sekolah aku tepis jauh2 aku harus bisa menjadi bapak dan ibu untuk 1 kakak perempuanku yang berumur 17 tahun dan adik2ku,tiap pagi sampai soreh ku berjuang mencari rejeki,sedangkan kakak sibuk mengurus di rumah merawat adik2 ku.


Kadang lelah tenaga ini lelah pikiran ini,tp hidup harus di jalani,tiap pagi aku bagaikan menjadi bapak untuk adik2ku yang mau berangkat sekolah untuk meminta uang saku.


Air mata ini menetes,jika melihat adik kecilku tidur berjejer bagaikan pindang asin yang di pajang di pasar.ku hanya bisa memandang baju dan alas tidur yang tak layak di pakai buat mereka tp apa daya aku sudah berusaha membahagiakan mereka tp aku aku sungguh sudah maksimal.


Terbesit di benak ini,aku ingin adik adiku hidup layak tidak kesusahan seperti aku dan kakak ku,akhirnya ku putus kan aku mendatangi sebuah panti asuhan dan mengharap sudi kiranya panti asuhan itu merawat adik2ku.


Alhamdulillah ALLAH MAHA BESAR,mereka dengan senang hati menerima ke empat adiku,dengan dalih berbohong ku ajak mereka ke sebuah rumah besar dan bersih yaitu pondok sebuah yatim piatu,Air mata ini meleleh di kalah melihat adik2 ku berlarian ke lapangan dan main ayun2an aku belum pernah sekalipun melihat wajah bhagia mereka seperti saat ini,tiba waktunya aku undur diri,pak ustat pun berharap aku tinggal di tempat ini,tp ku tolak permintaan itu,kakak ku akan menikah dia akan tinggal dengan suaminya aku akan menempati rumah kecil peninggalan bapak ibuku.


Ku cium adiku satu persatu,mereka melihat air mataku membasahi pipiku,dan bertanya " kenapa kakak menangis.." ujar salah satu adiku, "kakak hanya capek ujarku,kalian di sini baik baik dengarkan kata pak ustat dan ibu2 yang merawat kalian..!!" kataku sambil berlinangan air mataku.

"tidak kak,kita mau ikut kakak saja kami janji gak nakal jangan tinggal kami kak..." ujar salah satu adiku,betapa runtuh hati jiwa ini,belum pernah sekalipun kami berpisah,tp demi kebahagiaan mereka ini harus di terjadi,
"Dengar ya,kalau kalian masih menangis dan gak dengar omonganku jangan harap kalian bertemu aku lagi.." kataku sambil sedikit membentak.
"iya kak,kami janji akan patuh sama pak ustat dan ibu di sini yang merawat kami,tapi kakak janji jangan pernah tinggal kan kami..."
Ya allah,sungguh aku tak mampu menrima ucapan salah satu adiku,aku sungguh gak mampu ku peluk mereka dan kami pun menangis bersama sama.dan aku pun berpamitan pada adik2ku "jaga diri kalian baik2,lain kali kakak akan datang menjenguk kalian.."ujarku.

"iya kakak,kami tunggu,kata si bungsu,da ..da ..da kakak ..cepat jenguk kami lagi ya,"dia lambaikan tangan untuku sambil ku lihat air mata mereka menetes di pipinya.


Akupun berpamitan,sekali lagi pak ustat menawariku tinggal di asrama,tp aku tolak,aku ingin merawat rumah peninggalan orang tuaku.

Setelah ku keluar dari pintu pagar,ku lihat adik bungsuku lari mengejarku sambil menangis memanggil namaku,dengan cepa2 aku langkahkan kaki ini yang di temani sebuah kayu untuk menghindari adiku.

"Kakakkkkkkkkkk....jangan tinggal kan kami,aku mau kakak...." ku dengar rengekan si bungsu,aku yang sembunyi di balik mobil yang terparkir di depan asrama pun tak mampu memendung air mata,MAAF kan aku,,ini semua demi kebaikan kalian batinku.


Kini rumah yang aku tempati begitu sepi.tak terasa air mata ini jatuh di pipi,aku rindu adik2 u,aku rindu canda tawa mereka,aku rindu melihat mereka gembira sekali di saat aku pulang ngamen ku bawakan cilok kesukaan mereka,tp kini hidupku sunyi sepi,tapi aku berharap mereka akan sukses suatu kelak tidak seperti aku yang cacat dan tidak berpendidikan sama sekali,malam telah larut,mata ini ingin ku tutup,tapi air mata ini tetap meleleh..AKU KANGEN KALIAN DIK ucap lirihku dan akhrinya aku pun tertidur.


~TAMAT~


*NIB : mampukah kita menyayangi saudara saudara kita.

::: ANAK KU OH ANAK KU :::



Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran. Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan. Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Sindu tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India /curd rice). Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”.

Aku mengambil mangkok dan berkata Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak2 sama ayah.


Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta agak ragu2 sejenak akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?


Aku menjawab oh pasti, sayang.


Sindu tanya sekali lagi, betul nih ayah ?


Yah pasti sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.


Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, janji kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata: Sindu jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.


Sindu menjawab : jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok. Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu.

Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.

Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu. Istriku spontan berkata permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.

Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.

Aku coba membujuk: Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak. Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, tidak ada yah, tak ada keinginan lain, kata Sindu.

Aku coba memohon kepada Sindu : tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.

Sindu dengan menangis berkata : ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.


Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku : janji kita harus ditepati.

Secara serentak istri dan ibuku berkata : apakah aku sudah gila?
Tidak, jawabku, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi. Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.

Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.


Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak : Sindu tolong tunggu saya.

Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki2 itu botak.

Aku berpikir mungkin”botak” model jaman sekarang. Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata: anak anda, Sindu benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia. Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu, bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy kepalanya

menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman2 sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi.
Hanya saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.

Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih... batinku.